Sabtu, 17 April 2010
PENYESALAN DISAAT CINTA MULAI TUMBUH
PENYESALAN DISAAT CINTA MULAI TUMBUH
Pudarnya pesona cleopatra dengan panjang lebar ibu Imron menjelaskan, sebenarnya sejak dalam kandungan Imron telah dijodohkan dengan Sifa yang tak pernah dia kenal. “Ibunya Sifa adalah teman karib ibu Imron waktu nyantri di pesantren Karang Suci Purwokerto,” kata ibu Imron.“Kami pernah berjanji, jika dikarunia anak berlainan jenis akan besanan untuk memperteguh tali persaudaraan. Karena itu ibu mohon keikhlasanmu,” ucap beliau dengan nada mengiba.Dalam pergulatan jiwa yang sulit berhari-hari, akhirnya Imron pasrah. Dia tak mau mengecewakan ibunya. Meskipun untuk itu dia harus mengorbankan dirinya. Dengan hati pahit dia serahkan semua pada ibunya. Meskipun sesungguhnya dalam hatinya timbul kecemasan yang datang begitu saja. Imron tidak bisa berbuat apa-apa berhadapan dengan air mata ibunya yang amat dia cintai. Saat khitbah (lamaran) sekilas Imron tatap wajah Sifa, benar kata Fatma adiknya, ia memang baby face dan anggun. Namun garis-garis kecantikan yang Imron inginkan tak dia temukan. Tante Ana mengakui Sifa cantik, “Cantiknya alami, bisa jadi bintang iklan dove lho, asli !” kata tante Ana. Tapi penilaian Imron lain, mungkin karena dia begitu hanyut dengan gadis-gadis Arab titisan Cleopatra, yang tinggi semampai, wajahnya putih jelita, dengan hidung melengkung indah, mata bulat bening khas Arab, dan bibir yang merah. Di hari-hari menjelang pernikahan, Imron berusaha menumbuhkan bibit-bibit cinta untuk calon istrinya, tetapi usahanya selalu sia-sia. Hari pernikahan datang. Duduk di pelaminan bagai mayat hidup, hati hampa tanpa cinta, Pestapun meriah dengan tiga group rebana. Lantunan shalawat Nabi terasa menusuk-nusuk hati. Imron melihat Sifa tersenyum manis, tetapi hatinya terasa teriris-iris dan jiwanya meronta. Satu-satunya harapan Imron adalah mendapat berkah dari Allah SWT atas bakti pada ibunya. Rabbighfir li wa liwalidayya! Layaknya pengantin baru, dia paksakan untuk mesra tapi bukan cinta. Sifa tersenyum mengembang, hati Imron menangisi kebohongan dan kepura-puraannya.
Tepat dua bulan dia bawa Sifa ke kontrakan dipinggir kota Purwokerto. Mulailah kehidupan hampa. Imron tak menemukan adanya gairah. Betapa susah hidup berkeluarga tanpa cinta. Makan, minum, tidur, dan shalat bersama dengan makhluk yang bernama Sifa, tapi Masya Allah bibit cintanya belum juga tumbuh. Suaranya yang lembut terasa hambar, wajahnya yang teduh tetap terasa asing. Memasuki bulan keempat, rasa muak hidup bersama Sifa mulai dirasakan. Imron mencoba membuang jauh-jauh rasa tidak baik itu, apalagi pada istri sendiri yang seharusnya dia sayang dan cintai. Sikapnya pada Sifa mulai lain. Imron lebih banyak diam, acuh tak acuh, agak sinis, dan tidur pun lebih banyak di ruang tamu. Imron merasa hidupnya adalah sia-sia, belajar di luar negeri sia-sia, pernikahannya sia-sia, keberadaannya sia-sia.Tidak hanya dia yang tersiksa, Sifa pun merasakan hal yang sama.”Kenapa mas sikapnya beda?”Tanya Sifa.tetapi dia jawab, “tidak apa-apa ko mbak, mungkin aku belum dewasa, mungkin masih harus belajar berumah tangga.”Ada kekagetan yang Imron tangkap di wajah Sifa ketika dia panggil ‘mbak’, “Kenapa Mas memanggilku mbak, aku istrimu, apa Mas tidak mencintaiku,” tanyanya dengan wajah yang sedih.“Wallahu a’lam,” jawab Imron sekenanya. Dengan mata berkaca-kaca Sifa diam menunduk, tak lama kemudian dia terisak-isak sambil memeluk kaki Imron, “Kalau Mas tidak mencintaiku, tidak menerimaku sebagai istri, kenapa Mas ucapkan akad nikah?”“Kalau dalam tingkahku melayani Mas masih ada yang kurang berkenan, kenapa Mas tidak bilang dan menegurnya, kenapa Mas diam saja, aku harus bersikap bagaimana untuk membahagiakan Mas, kumohon bukalah sedikit hatimu untuk menjadi ruang bagi pengabdianku, bagi menyempurnakan ibadahku di dunia ini,” Sifa mengiba penuh pasrah.Imron menangis menitikkan air mata, bukan karena Sifa tetapi karena kepatungannya. Hari terus berjalan, tetapi komunikasi mereka tidak berjalan. Mereka hidup seperti orang asing tetapi Sifa tetap melayani Imron, menyiapkan segalanya untuk Imron.
Suatu sore Imron pulang mengajar dan kehujanan, sampai di rumah habis maghrib, bibirnya pucat, perutnya belum kemasukkan apa-apa kecuali segelas kopi buatan Sifa tadi pagi. Memang dia berangkat pagi karena ada janji dengan teman. Sifa memandangi Imron dengan khawatir.“Mas tidak apa-apa,” tanyanya dengan perasaan kuatir. “Mas mandi dengan air panas saja, aku sedang menggodoknya, lima menit lagi mendidih,” lanjutnya. Imron melepas semua pakaian yang basah. ”Mas airnya sudah siap,” kata Sifa. Imron tak bicara sepatah katapun, dia langsung ke kamar mandi, dia lupa membawa handuk, tetapi Sifa telah berdiri di depan pintu membawa handuk. ”Mas aku buatkan wedang jahe.” Imron diam saja. Imron merasa mulas dan mual dalam perutnya tak bisa dia tahan. Dengan cepat Imron berlari ke kamar mandi dan Sifa mengejarnya dan memijit-mijit pundak dan tengkuknya seperti yang dilakukan ibunya. “Mas masuk angin. Biasanya kalau masuk angin diobati pakai apa, pakai balsam, minyak putih, atau jamu?” tanya Sifa sambil menuntunnya ke kamar. ”Mas jangan diam saja dong, aku kan tidak tahu apa yang harus kulakukan”lanjutnya.“Biasanya dikerokin,” jawab Imron lirih. “Kalau begitu kaos mas dilepas ya, biar aku kerokin,” sahut Sifa sambil tangannya melepas kaos Imron. Sifa dengan sabar mengeroki punggung Imron dengan sentuhan tangannya yang halus. Setelah selesai dikerokin, Sifa membawakan Imron semangkok bubur kacang hijau. Setelah itu Imron merebahkan diri di tempat tidur. Dia lihat Sifa duduk di kursi tak jauh dari tempat tidur sambil menghafal Al Quran dengan khusyu. Imron kembali sedih dan ingin menangis, Sifa manis tapi tak semanis gadis-gadis Mesir titisan Cleopatra. Dalam tidur Imron bermimpi bertemu dengan Cleopatra, ia mengundangnya makan malam di istananya. “Aku punya keponakan namanya Anisa, nanti aku perkenalkan denganmu,” kata Ratu Cleopatra. “Dia memintaku untuk mencarikan seorang pangeran, aku melihatmu cocok dan berniat memperkenalkannya denganmu.” Imron mempersiapkan segalanya. Tepat pukul 07.00 Imron datang ke istana, dia lihat Anisa dengan pakaian pengantinnya, cantik sekali. Sang ratu mempersilakan Imron duduk di kursi yang berhias berlian.Imron melangkah maju, belum sempat duduk, tiba-tiba “Mas, bangun, sudah jam setengah empat, mas belum sholat Isya,” kata Sifa membangunkannya. Imron terbangun dengan perasaan kecewa. “Maafkan aku Mas, membuat Mas kurang suka, tetapi Mas belum sholat Isya,” lirih Sifa sambil melepas mukenanya, mungkin dia baru selesai sholat malam.Meskipun cuman mimpi tapi itu indah sekali, tapi sayang terputus. Imron jadi semakin tidak suka sama Sifa, dialah pemutus harapannya dan mimpinya. Selanjutnya Imron merasa sulit hidup bersama Sifa, Imron tidak tahu dari mana sulitnya. Rasa tidak suka semakin menjadi-jadi. Imron benar-benar terpenjara dalam suasana konyol. Dia belum bisa menyukai Sifa. Imron sendiri belum pernah jatuh cinta, entah kenapa bisa dijajah pesona gadis-gadis titisan Cleopatra.
“Mas, nanti sore ada acara syukuran di rumah Yu Siti. Semua keluarga akan datang termasuk ibundamu. Kita diundang juga. Yuk, kita datang bareng, tidak enak kalau kita yang dieluk-elukan keluarga tidak datang,” suara lembut Sifa menyadarkan pengembaraannya pada Jaman Ibnu Hazm. Pelan-pelan Sifa letakkan nampan yang berisi onde-onde kesukaannya dan segelas wedang jahe.Tangannya yang halus agak gemetar. Imron dingin-dingin saja. “Maaf..maaf jika mengganggu Mas, maafkan saya,” lirihnya, lalu perlahan-lahan beranjak meninggalkan Imron di ruang kerja. “Mbak! Eh maaf, maksudku D..Din..Dinda Sifa!,” panggil Imron dengan suara parau tercekak dalam tenggorokan.“Ya Mas!” sahut Sifa langsung menghentikan langkahnya dan pelan-pelan menghadapkan dirinya pada Imron. Sifa berusaha untuk tersenyum, agaknya ia bahagia dipanggil ‘dinda’. Matanya sedikit berbinar. “Te..terima kasih Di..dinda, kita berangkat bareng kesana, habis sholat dhuhur, insya Allah,” ucap Imron sambil menatap wajah Sifa dengan senyum yang dia paksakan. Sifa menatap Imron dengan wajah sangat cerah, ada secercah senyum bersinar di bibirnya. “Terima kasih Mas, Ibu kita pasti senang, mau pakai baju yang mana Mas, biar dinda siapkan? Atau biar dinda saja yang memilihkan ya?” Sifa begitu bahagia. Perempuan berjilbab ini memang luar biasa, Ia tetap sabar mencurahkan bakti meskipun Imron dingin dan acuh padanya. Imron belum pernah melihat Sifa memasang wajah masam atau tidak suka padanya. Kalau wajah sedihnya ya.”Bah, lelaki macam apa aku ini, kutuknya pada dirinya sendiri”. Imron memaki-maki dirinya sendiri atas sikap dinginnya selama ini. Tapi, setetes embun cinta yang Imron harapkan membasahi hatinya tak juga turun. Imron merasa menjadi orang yang paling membenci dirinya sendiri di dunia ini.Acara Syukuran membawa sejarah baru lembaran pernikahan mereka. Benar dugaan Sifa, mereka dielu-elukan keluarga, disambut hangat, penuh cinta, dan penuh bangga. “Selamat datang pengantin baru! Selamat datang pasangan yang paling ideal dalam keluarga!” sambut Yu Siti disambut tepuk tangan bahagia mertua dan bunda Imron serta kerabat yang lain. Wajah Sifa cerah. Matanya berbinar-binar bahagia. Lain dengan Imron, dalam hatinya menangis disebut pasangan ideal.”Apanya yang ideal, apa karena aku lulusan Mesir dan Sifa lulusan terbaik di kampusnya dan hafal al-Quran lantas disebut ideal?” gerutu Imron dalam hatinya. Ideal baginya adalah seperti Ibnu Hazm dan istrinya, saling memiliki rasa cinta yang sampai pada pengorbanan satu sama lain. Rasa cinta yang dari detik ke detik meneteskan rasa bahagia.Tapi dirinya? Imron belum bisa memiliki cinta seperti yang dimiliki Sifa. Sambutan sanak saudara pada mereka benar-benar hangat. Imron dibuat kaget oleh sikap Sifa yang begitu kuat menjaga kewibawaannya di mata keluarga. Pada ibunya dan semuanya tidak pernah diceritakan, kecuali menyanjung kebaikannya sebagai seorang suami yang dicintainya. Bahkan Sifa mengaku bangga dan bahagia menjadi istrinya. Imron sendiri dibuat pusing dengan sikapnya. Lebih pusing lagi sikap ibunya dan mertuanya yang menyindir tentang keturunan. “Sudah satu tahun putra sulungku menikah, ko belum ada tanda-tandanya ya, padahal aku ingin sekali menimang cucu,” kata ibu Imron. “Insya Allah tak lama lagi, ibu akan menimang cucu, doakanlah kami. Bukankah begitu, Mas?” sahut Sifa sambil menyikut lengan Imron, dia tergagap dan mengangguk sekenanya.Setelah peristiwa itu, Imron mencoba bersikap bersahabat dengan Sifa. Imron berpura-pura kembali mesra dengannya. Sebab bukan atas dasar cinta, dan bukan kehendaknya sendiri dia melakukannya, ini semua demi ibunya. Allah Maha Kuasa. Kepura-puraannya memuliakan Sifa sebagai seorang istri. Sifa hamil, keluarga bersuka cita semua. Namun hati Imron menangis karena cinta tak kunjung tiba.“Tuhan kasihanilah hamba, datangkanlah cinta itu segera!”. Sejak itu Imron semakin sedih sehingga Sifa yang sedang hamil tidak diperhatikan. Setiap saat nuraninya bertanya, “Mana tanggung jawabmu!” Imron hanya diam dan mendesah sedih. “Entahlah, betapa sulit aku menemukan cinta,” gumamnya. Dan akhirnya datanglah hari itu, usia kehamilan Sifa memasuki bulan ke enam. Sifa minta ijin untuk tinggal bersama orang tuanya dengan alasan kesehatan. Imron kabulkan permintaanya dan dia antarkan sifa ke rumahnya. Ketika Imron pamitan, Sifa berpesan, “Mas, untuk menambah biaya kelahiran anak kita, tolong nanti cairkan tabunganku yang ada di ATM. Aku taruh di bawah bantal, nomor pin-nya sama dengan tanggal pernikahan kita.”Setelah Sifa tinggal bersama ibunya, Imron sedikit lega. Setiap hari dia tidak bertemu dengan orang yang membuatnya tidak nyaman. Entah apa sebabnya bisa demikian. Hanya saja Imron sedikit repot, harus menyiapkan segalanya. Waktu terus berjalan, dan Imron merasa enjoy tanpa Sifa. Suatu saat Imron pulang kehujanan. Sampai rumah hari sudah petang, dia merasa tubuhnya benar-benar lemas. Imron muntah-muntah, menggigil, kepala pusing dan perut mual. Saat itu terlintas di hati “andaikan ada Sifa, dia pasti telah menyiapkan air panas, bubur kacang hijau, membantu mengobati masuk angin dengan mengeroki punggungku, lalu menyuruhku istirahat dan menutupi tubuhku dengan selimut”.Malam itu Imron benar-benar menderita. Imron terbangun jam enam pagi. Badan sudah segar. Tapi ada penyesalan dalam hati, dia belum sholat Isya dan terlambat sholat subuh. Baru sedikit terasa,” andaikan ada Sifa tentu aku ngak meninggalkan sholat Isya, dan tidak terlambat sholat subuh”.Lintasan Sifa hilang seiring keberangkatan mengajar di kampus. Apalagi Imron mendapat tugas dari universitas untuk mengikuti pelatihan mutu dosen mata kuliah bahasa Arab. Diantaranya tutornya adalah professor bahasa Arab dari Mesir. Imron jadi banyak berbincang dengan beliau tentang Mesir.Dalam pelatihan Imron juga berkenalan dengan Pak Sa’id, seorang dosen bahasa Arab dari Malang. Dia menempuh S1-nya di Mesir. Dia menceritakan satu pengalaman hidup yang menurutnya pahit dan terlanjur dijalani. ”Apakah kamu sudah menikah?” kata Pak Sa’id.“Alhamdulillah, sudah,” jawab Imron.“Dengan orang mana?”.“Orang Jawa.”“Pasti orang yang baik ya. Iya kan? Biasanya pulang dari Mesir banyak saudara yang menawarkan untuk menikah dengan perempuan shalehah. Paling tidak santriwati, lulusan pesantren. Istrimu dari pesantren?”.“Pernah, alhamdulillah dia sarjana dan hafal Al Quran”.“Kau sangat beruntung, tidak sepertiku.”“Kenapa dengan Bapak?” “Aku melakukan langkah yang salah, seandainya aku tidak menikah dengan orang Mesir, tentu batinku tidak merana seperti sekarang”.“Bagaimana itu bisa terjadi?.”“Kamu tentu tahu gadis Mesir itu cantik, dan karena terpesona dengan kecantikanya saya menderita seperti ini. Ceritanya begini, saya seorang anak tunggal dari orang kaya, saya berangkat ke Mesir dengan biaya orang tua. Tahun pertama saya lulus dengan predikat jayyid, predikat yang cukup sulit bagi pelajar dari Indonesia.Demikian juga dengan tahun kedua. Karena prestasi saya, tuan rumah tempat saya tinggal menyukai saya. Saya dikenalkan dengan anak gadisnya yang bernama Anah. Dia tidak pakai jilbab. Pada pandangan pertama saya jatuh cinta, saya belum pernah melihat gadis secantik dia. Saya bersumpah tidak akan menikah dengan siapapun kecuali dia. Ketika saya menikahi Anah, banyak teman-teman yang memberi masukan, sama-sama menikah dengan gadis Mesir, kenapa tidak mencari mahasiswi Al-Azhar yang hafal al-Quran, salehah, dan berjilbab. Itu lebih selamat dari pada dengan Anah yang awam pengetahuan agama. Tetapi saya tetap teguh untuk menikahinya. Anah menuntut diberi sesuatu yang lebih dari gadis Mesir. Perabot rumah yang mewah, menginap di hotel berbintang. Begitu selesai S-1 saya kembali ke Malang, saya minta agar asset yang di Mesir dijual untuk modal di Indonesia. Kami langsung membeli rumah mewah di kota Malang. Tahun pertama hidup kami berjalan baik, setiap tahunnya Anah mengajak ke Mesir menengok orang tuanya. Aku masih bisa memenuhi semua yang diinginkan Anah. Hidup terus berjalan, biaya hidup semakin nambah, anak kami yang ketiga lahir, tetapi pemasukan tidak bertambah. Saya minta Anah untuk berhemat tetapi dia tidak bias. Aku mati-matian berbisnis, demi keinginan Anah dan anak-anak terpenuhi. Sawah terakhir milik Ayah saya jual untuk modal. Dalam diri saya mulai muncul penyesalan. Setiap kali saya melihat teman-teman alumni Mesir yang hidup dengan tenang dan damai dengan istrinya. Bisa mengamalkan ilmu dan bisa berdakwah dengan baik. Saya tidak mendapatkan apa yang mereka dapatkan. Jika saya pengin makan, saya harus ke warung. Anah tidak mau tahu dengan masakan Indonesia.Kau tahu sendiri, gadis Mesir memanggil suaminya dengan namanya. Jika ada sedikit letupan, maka rumah seperti neraka. Puncak penderitaan saya dimulai setahun yang lalu. Usaha saya bangkrut, saya minta Anah untuk menjual perhiasannya, tetapi dia tidak mau. Dia malah membandingkan dirinya yang hidup serba kurang dengan sepupunya. Saya menyesal meletakkan kecantikan diatas segalanya. Mengetahui keadaan saya yang terjepit, ayah dan ibu mengalah. Mereka menjual rumah dan tanah, yang akhirnya mereka tinggal di ruko yang kecil dan sempit. Batin saya menangis. Mereka berharap modal itu cukup untuk merintis bisnis saya yang bangkrut. Bisnis saya mulai bangkit, Anah mulai berulah, dia mengajak ke Mesir. Waktu di Mesir itulah puncak tragedi yang menyakitkan. “Aku menyesal menikah dengan orang Indonesia, aku minta kau ceraikan aku, aku tidak bisa bahagia kecuali dengan lelaki Mesir.”Kata Anah yang bagaikan geledek menyambar. Lalu tanpa dosa dia bercerita bahwa tadi di KBRI dia bertemu dengan temannya. Dia sudah jadi bisnisman, dan istrinya sudah meninggal. Anah diajak makan siang, dan dilanjutkan dengan perselingkuhan. Aku pukul dia karena tak bisa menahan diri. Atas tindakan itu saya dilaporkan ke polisi. Yang menyakitkan adalah tak satupun keluarganya yang membelaku. Rupanya selama ini Anah sering mengirim surat yang berisi berita bohong.Sejak saat itu saya mengalami depresi. Dua bulan yang lalu saya mendapat surat cerai dari Mesir sekaligus mendapat salinan surat nikah Anah dengan temannya. Hati saya sangat sakit, ketika si sulung menggigau meminta ibunya pulang”.
Mendengar cerita Pak Sa’id membuat Imron terisak-isak. Perjalanan hidup Pak Sa’id menyadarkannya. Imron teringat sifa. Perlahan wajah Sifa terbayang dimatanya, tak terasa sudah dua bulan imron berpisah dengannya. Tiba-tiba ada kerinduan yang menyelinap dihati. Dia istri yang sangat shalehah. Tidak pernah meminta apapun. Bahkan yang keluar adalah pengabdian dan pengorbanan. Hanya karena kemurahan Allah Imron mendapatkan istri seperti dia. Meskipun hatinya belum terbuka lebar, tetapi wajah Sifa telah menyala di dindingnya. Apa yang sedang dilakukan Sifa sekarang? Bagaimana kandungannya? Sudah delapan bulan. Sebentar lagi melahirkan. Imron jadi teringat pesannya. Sifa ingin agar Imron mencairkan tabungannya.Pulang dari pelatihan, Imron menyempatkan ke toko baju muslim, Imron ingin membelikannya untuk Sifa, juga daster, dan pakaian bayi. Imron ingin memberikan kejutan, agar dia tersenyum menyambut kedatangannya. Imron tidak langsung ke rumah mertua, tetapi ke kontrakan untuk mengambil uang tabungan, yang disimpan di bawah bantal. Di bawah kasur itu Imron temukan kertas merah jambu. Hatinya berdesir, darahnya terkesiap. “Surat cinta siapa ini, rasanya aku belum pernah membuat surat cinta untuk istriku. Jangan-jangan ini surat cinta istriku dengan lelaki lain. Gila! Jangan-jangan istriku serong” gerutu Imron.Dengan rasa takut Imron baca surat itu satu persatu. Dan Rabbi, ternyata surat-surat itu adalah ungkapan hati Sifa yang selama ini Imron zhalimi. Ia menulis, betapa ia mati-matian mencintai Imron, meredam rindunya akan belaiannya. Ia menguatkan diri untuk menahan nestapa dan derita yang luar biasa. Hanya Allah lah tempat ia meratap melabuhkan dukanya. Dan ya Allah, ia tetap setia memanjatkan doa untuk kebaikan suaminya. Dan betapa dia ingin hadirnya cinta sejati dari Imron.“Rabbi dengan penuh kesyukuran, hamba bersimpuh di hadapan-Mu. Lakal hamdu ya Rabb. Telah Kau muliakan hamba dengan al-Quran. Kalaulah bukan karena karunia-Mu yang agung ini, niscaya hamba sudah terperosok ke dalam jurang kenistaan. Ya Rabbi, curahkan tambahan kesabaran dalam diri hamba,” tulis Sifa.Dalam akhir tulisannya Sifa berdoa, “Ya Allah inilah hamba-Mu yang kerdil penuh noda dan dosa kembali datang mengetuk pintu-Mu, melabuhkan derita jiwa ini ke hadirat-Mu. Ya Allah sudah tujuh bulan ini hamba-Mu ini hamil penuh derita dan kepayahan. Namun kenapa begitu tega suami hamba tak mempedulikanku dan menelantarkanku. Masih kurang apa rasa cinta hamba padanya. Masih kurang apa kesetiaanku padanya. Masih kurang apa baktiku padanya? Ya Allah, jika memang masih ada yang kurang, ilhamkanlah pada hamba-Mu ini cara berakhlak yang lebih mulia lagi pada suamiku.Ya Allah, dengan rahmatMu hamba mohon jangan murkai dia karena kelalaiannya. Cukup hamba saja yang menderita. Maafkanlah dia, dengan penuh cinta hamba masih tetap menyayanginya. Ya Allah berilah hamba kekuatan untuk tetap berbakti dan memuliakannya. Ya Allah, Engkau maha Tahu bahwa hamba sangat mencintainya karena-Mu. Sampaikanlah rasa cinta ini kepadanya dengan cara-Mu. Tegurlah dia dengan teguran-Mu. Ya Allah dengarkanlah doa hamba-Mu ini. Tiada Tuhan yang layak disembah kecuali Engkau, Maha Suci Engkau.”Tak terasa air mata Imron mengalir, dadanya terasa sesak oleh rasa haru yang luar biasa. Tangisnya meledak. Dalam tangisnya semua kebaikan Sifa terbayang. Wajahnya yang baby face dan teduh, pengorbanan dan pengabdiannya yang tiada putusnya, suaranya yang lembut, tangannya yang halus bersimpuh memeluk kaki Imron, semuanya terbayang mengalirkan perasaan haru dan cinta.
Dalam keharuan terasa ada angin sejuk yang turun dari langit dan merasuk dalam jiwanya. Seketika itu pesona Cleopatra telah memudar berganti cinta Sifa yang datang di hati. Rasa sayang dan cinta pada Sifa tiba-tiba begitu kuat mengakar dalam hatinya. Imron tiba-tiba begitu merindukannya. Segera dia kejar waktu untuk membagi cintanya dengan sifa.Dia kebut kendaraannya. Dia pacu kencang seiring dengan air matanya yang menetes sepanjang jalan. Begitu sampai di halaman rumah mertua, nyaris tangisnya meledak. Dia tahan dengan nafas panjang dan dia usap air matanya. Melihat kedatangan Imron, ibu mertua memeluknya dan menangis. Imron jadi heran dan ikut menangis.“Mana sifa Bu?”. Ibu mertua hanya menangis. Imron terus bertanya apa sebenarnya yang telah terjadi.“Sifa…, istrimu….istrimu dan anakmu yang di kandungnya”.“Ada apa dengan dia?”“Dia telah tiada.”“Ibu berkata apa!”“Istrimu telah meninggal seminggu yang lalu. Dia terjatuh di kamar mandi. Kami membawanya ke rumah sakit. Dia dan bayinya tidak selamat. Sebelum meninggal, dia berpesan untuk memintakan maaf atas segala kekurangan dan kekhilafannya selama menyertaimu. Dia meminta maaf karena tidak bisa membuatmu bahagia. Dia meminta maaf telah dengan tidak sengaja membuatmu menderita. Dia minta kau meridhionya”. Hati Imron bergetar hebat. “Kenapa ibu tidak memberi kabar padaku?”.“Ketika Sifa di bawa ke rumah sakit, aku telah mengutus seseorang untuk menjemputmu di rumah kontrakan, tapi kamu tidak ada. Dihubungi ke kampus katanya kamu sedang mengikuti pelatihan. Kami tidak ingin mengganggumu. Apalagi Sifa berpesan agar kami tidak mengganggu ketenanganmu selama pelatihan. Dan ketika Sifa meninggal kami sangat sedih, jadi maafkanlah kami.”Imron menangis Hatinya pilu. Jiwanya remuk. Ketika Imron merasakan cinta Sifa, dia telah tiada. Ketika Imron ingin menebus dosanya, dia telah meninggalkannya. Ketika Imron ingin memuliakannya dia telah tiada. Sifa telah meninggalkan Imron tanpa memberi kesempatan padanya untuk sekedar minta maaf dan tersenyum padanya.
Tuhan telah menghukum Imron dengan penyesalan dan perasaan bersalah tiada terkira. Ibu mertua mengajaknya ke sebuah gundukan tanah yang masih baru di kuburan pinggir desa. Di atas gundukan itu ada dua buah batu nisan. Nama dan hari wafat Sifa tertulis disana. Imron tak kuat menahan rasa cinta, haru, rindu dan penyesalan yang luar biasa. Imron ingin Sifa hidup kembali.Namun sekarang hanya penyesalan yang Imron rasakan dalam kehidupannya.
BIODATA
Nama : Insan Aji Subekti
NIM : 6101409154
Tempat Tanggal Lahir : Banyumas, 23 Mei 1990
Agama : Islam
Hobbi : Olag Raga
Alamat Rumah : Jl. Stasiun Notog, Rt 01 / Rw 01 Notog, Kec.Patikraja, Kab.Banyumas
Alamat Kos : Jl. Kalimasada RT 4 / RW 5 Sekaran Gunung pati
No HP : 085728959519
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
1 komentar:
bancanya entar..komen dulu ah....sejak kapan suka nulis MAs...
Posting Komentar